Selasa, 14 Februari 2017

SEJARAH BAHALWAN - ES POETER, ES GRONJONG DAN PASAR BONG

Oleh : Washil Bahalwan

Kalau pada edisi sebelumnya penulis mengupas tentang sejarah Bahalwan dari berbagai dimensi dan sudut pandang. Maka pada edisi ke 21 ini, penulis yang lahir dan besar di Surabaya akan menukil sebagian cerita rakyat Surabaya tempo doeloe. Dengan harapan mengingatkan kembali memori Al Bahalwan yang seangkatan dengan penulis serta memberi informasi kepada Al Bahalwan junior untuk mengenal lebih jauh cerita rakyat tempo doeloe. Bahwa Surabaya kaya akan berbagai hal mulai makanan, minuman, tempat–tempat yang bernilai sejarah, budaya dan masih banyak lainnya. Termasuk cerita rakyat Suroboyo yang terkenal heroik dan menggemparkan dunia, yaitu perlawanan arek–arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan melawan tentara Inggris. Sehingga Pemerintah Indonesia melalui Presiden Soekarno menetapkan Surabaya sebagai kota pahlawan.

Kebetulan penulis terinspirasi abah Zein yaitu senang mengkliping koran atau majalah tentang berbagai peristiwa. Dan setelah membuka kembali dokumen penulis yang berbentuk kliping, penulis tertarik untuk menuangkan kembali versi penulis tentang cerita Soerabaia tempo doeloe koleksi dukut Imam Widodo yang dimuat di koran Radar Surabaya, Senin, 23 April 2001 dan Senin, 3 September 2001 serta penulis mendapatkan cerita dari para senior sesuai dengan pengalaman yang pernah dilakukan. Lebih dari itu ternyata kota Surabaya mempunyai kenangan tersendiri bagi Al Bahalwan khususnya bagi Salim bin Abdurrahman Bahalwan. Penasaran apa saja yang akan penulis informasikan kepada Al Bahalwan tentang Soerabaya tempo doeloe. Berikut cerita selengkapnya tentang kota kita Soerabaya :

ES POETER
Sejak dulu kala Soerabaia memang puuanaas banget. Mangkanya tidak aneh jika tempo doeloe di kota ini, Surabaya sudah ada beberapa pabrik es. Bahasa Belandanya pabrik es adalah IJSFABRIEKEN. Beberapa pabrik es yang sudah berdiri sejak doeloe di Surabaya, diantaranya adalah IJSFABRIEKEN PETODJO DI RADERRSMATRAAT, NV. IJSFABRIEKEN NGAGEL DI NGAGEL DAN NV. IJS EN HANDEL MIJ DI PASSAR TOERI dll. Para pedagang es tempo doeloe di Surabaya sudah berpikiran maju, yaitu mereka membuat perkumpulan pedagang es dengan nama SIJVO (Soerabaiasche Ijsverkoop organisatie) yang beralamat di Societe Itstraat 19. Luar biasa, karena menurut mereka (pedagang es) agar apa yang disuarakan pedagang mendapat perhatian dari penguasa dan yang lebih penting dari itu adalah untuk memudahkan dalam koordinasi dan pembinaan. Sekarang es kan macamnya banyak, bagaimana kalau dibentuk saja PPED (Persatuan Pedagang Es Dawet) atau PPET (Persatuan Pedagang Es Teler) Asyik kan ? Wow buanyaak sekali, waktu itu minuman yang mengandung unsur es.

Khusus untuk orang–orang Belanda atau bangsa Eropa disediakan sebuah restoran eksklusif di toenjoengan, yang khusus menjual es krim. Nama restoran itu adalah “IJSPALEIISJE TUTTI FRUTTI". Disamping itu juga ada yang namanya “Renato Zangrandi’s Ijspaleis“. Jadi yang namanya es krim itu bukan jenis minuman baru di Surabaya, akan tetapi jauh sebelumnya sudah ada bahkan lebih dulu es krim bila dibandingkan dengan umur kita dan bahkan umur nenek dan kakek kita.

Namun saat itu es krim sudah mendapat saingan sangat berat. Yaa berat pikulannya, yaa berat juga menjajakannya karena harus keluar masuk kampung–kampung. Seperti kampung Plampitan, Peneleh, Kepoetran, Nyamplungan dll. Nama saingan es krim itu adalah es poeter. Bagaimana tidak bisa dikatakan saingan ? Coba kita perhatikan dengan seksama, foto penjual es poeter tempo doeloe ini. Walaupun dengan bertelanjang kaki (nyeker) sambil membawa bel yang dibunyikan klining ... klining ... klining. Untuk menarik pembeli. Tetapi lihatlah gelas–gelas tempat es poeter itu. Gelas itu, biasa dipakai tuan dan nyonya besar bangsa Belanda jika sedang makan es krim Ijspaleisje Tutti Frutti di Toenjoengan atau Renato Zangrandi’s. Jika ada pesta–pesta dan ada hidangan penutup berupa es krim, maka gelas–gelas yang dipakai menyajikannya persis seperti gelas penjual es poeter itu.                                      
           

Jadi walaupun es poeter itu rasa pribumi, karena ada santannya, tetapi gelasnya harus bergaya luar negeri. Wow keren. Namun sayangnya gelas–gelas itu dibiarkan terbuka tidak ditutupi, sehingga debu–debu yang bertebaran menempel di gelas itu. Walaupun demikian, buktinya tempo doeloe tidak ada orang yang sakit perut, mules–mules karena minum es poeter. Lama-kelamaan tuan dan nyonya Belanda itu akhirnya jatuh hati dan doyan juga es poeter. Sebab rasanya lebih alami dibandingkan dengan es krim. Es poeter yang rasa pribumi itu pun dahulu tidak semua orang dapat membelinya. Karena harganya memang mahal. Jadi hanya kalangan tertentu saja yang bisa membelinya. Boleh dikatakan es poeter itu untuk pribumi kalangan menengah atas ( priyayi dll ). Beberapa teman kampung, ketika ada penjual es poeter lewat Nyamplungan dan kebetulan ada yang membeli, maka teman–teman tadi hanya bisa melihat saja dan membayangkan bagaimana enak dan segarnya minum es poeter di tengah terik matahari yang menyengat.

ES GRONJONG
Kalau es krim untuk orang Belanda dan bangsa Eropa sedang es poeter untuk pribumi kelas menengah atas, maka ada lagi satu es yang uenaknya tidak kalah dengan es poeter tetapi harganya bersahabat. Es yang dimaksud adalah es gronjong. Es gronjong identik dengan rakyat kebanyakan, harganya murah tapi tidak murahan . Tapi itu tidak penting. Yang harus kita ketahui bahwa es poeter dan es gronjong merupakan sedikit dari minuman khas Surabaya tempo doeloe yang sekarang sudah jarang kita jumpai. Banyak makanan dan minuman tempo doeloe, sekarang tidak lagi dapat kita temui. Keberadaannya tergerus oleh makanan dan minuman cepat saji. Kalau toh ada, dapat kita jumpai ketika Ulang Tahun Kota Surabaya atau ada pasar rakyat atau kegiatan sejenis lainnya. Mungkin kita penasaran, kenapa dinamakan es gronjong ?  Mari kita ikuti ceritanya.

Dahulu tahun 1960-an, tidak banyak pilihan minuman yang tersedia. Belum ada es campur, es oyen, es teler, es Manado dan lainnya. Yang ada hanya es gronjong. Rasanya manis tidak ada flavor atau rasa macam–macam seperti rasa es sekarang ini. Dinamai es gronjong karena es batu yang di pecah kecil–kecil, dicampur dengan sirup warna merah dan air santan sehingga menjadi pink. Kemudian bahan–bahan tadi dimasukkan dalam tong besar, berdiameter 40 cm. Nah, kalau kita beli, maka penjual akan mengaduk es dalam tong tersebut. Dan akan terjadi irama yang menarik. Irama tersebut terjadi karena benturan antara es  dengan es dan es dengan dinding tong. Maka akan terdengar suara "gronjong ... gronjong”. Suara itu akan terdengar lagi, setiap ada orang yang beli karena penjual mengaduk – aduk es dalam tong tadi.

Teman setia es gronjong adalah roti goreng yang masih dibuat secara tradisional dan warna roti goreng yang sedikit gosong, banyak disukai oleh pembeli. Sarana yang digunakan adalah rombong yang dipikul seperti rombongnya es poeter, tetapi ada juga yang menggunakan rombong. Disamping keliling keluar masuk kampung, maka penjual es gronjong biasanya mangkal di sekitar terminal, stasiun, alun–alun, pasar, sekolah. Konsumen es gronjong adalah para abang becak, kusir dokar (delman) dan kami anak–anak sekolah yang memang uang sakunya terbatas. Dan ternyata es gronjong, juga mempunyai kenangan tersendiri bagi regu Pramuka Gudep 77 Al-Irsyad Surabaya.

Tepatnya, ketika diadakan Jambore Pramuka se Surabaya tahun 1974 di Lapangan Kodikal Bumimoro Surabaya. Banyak peserta Jambore yang jatuh sakit termasuk regu elang Al-Irsyad Surabaya disebabkan karena kebanyakan minum es gronjong (Liputan Surabaya Pos, April 1974). Namun demikian, Alhamdulillah dalam jambore tersebut regu elang Gudep 77 Al-Irsyad Surabaya keluar sebagai juara umum. Anggota regu elang adalah : Aufa Bahalwan, Saleh Basymeleh, Geys  Al Khotib, Helmi Syamlan, Fauzi Mahfud, Novel Bobsaid, Samsul Munir, Djasmadi, Hasan Ali dan Mahmud Makarim. Sedang kakak pembinanya adalah Kak Fauzi Bamahfud dan Kak Aziz Allan. (Untuk kiprah Gudep 77 Al-Irsyad Surabaya akan dibahas dalam edisi tersendiri).

PASAR BONG                                   

             
Selain es poeter dan es gronjong, ternyata Surabaya juga mempunyai pasar yang sangat terkenal dari dulu sampai sekarang. Boleh dikatakan pasar tersebut merupakan salah satu icon kota Surabaya. Apabila kita hendak mencari aneka macam tekstil dan bahan kain, maka pasar inilah yang menjadi jujugan para pembeli. Baik pembeli dari Surabaya, luar kota dan bahkan luar pulau. Pasar yang dimaksud adalah Pasar Bong. Lokasi Pasar Bong di Jl. Slompretan (Chinese Bree Straat) dekat Jl. Kembang Jepun yang memang masuk kawasan perdagangan dari dahulu sampai sekarang. Pasar Bong merupakan pasar grosir (partai). Mengapa pembeli menjadikan pasar bong sebagai tujuan utama untuk membeli tekstil dan bahan kain ? Karena disamping harganya miring (lebih murah) juga pilihannya banyak. Jadi pas untuk pedagang.


Dan ternyata pasar bong ini ikut mewarnai perjalanan Al Bahalwan Surabaya, khususnya bagi Salim Bin Abdurrahman Bahalwan. Tahun 1920 an, Salim Bin Abdurrahman Bahalwan sering berbelanja berbagai kebutuhan pesanan dari pedagang. Pedagang yang sering pesan ke Salim Bin Abdurrahman Bahalwan adalah mulai dari Sumatera sampai Manado Ujung paling timur sampai Irian Jaya. Waktu itu ami Salim, demikian biasa penulis memanggilnya menjadi commisioneer di Surabaya. Konon ceritanya usaha commisioneer ami Salim sangat maju dan banyak para pedagang yang menjadi pelanggannya. Dalam menjalankan bisnisnya sebagai commisioneer, ami Salim hanya mengambil 2,5 % sebagai komisi / jasanya. Mekanismenya adalah seperti berikut ini, Para pedagang/pemesan barang mengirimkan uang melalui wesel pos beserta ordernya. Setelah wesel diterima oleh ami Salim, dilihat apa pesanannya dan berapa jumlahnya. Maka dihitunglah pesanan berikut jumlah uang yang dibutuhkan oleh bagian administrasi dan pembukuan dan ditambah dengan ongkos kirim melalui jasa ekspedisi. Baru setelah itu ami Salim mengambil 2,5 % sebagai jasanya. Bagian pembukuan dan administrasi juga pembelian adalah masih saudaranya sendiri yaitu abah Zein dan Hasan. Setelah direkap semuanya, data dibelanjakan langsung ke Pasar Bong dan dibantu oleh anaknya ami Salim yang bernama Saleh Bin Salim Bahalwan. Untuk melaksanakan bisnisnya ini Ami salim berkantor di Jl. Panggung (dekat kawasan Langgar Serang) Surabaya, juga kawasan mendekati rumah Umar Bin Hasan Bahalwan di Jl. Kalimas Udik II.

Tentang usaha commisioneer dan sekolah Al-Ma’arif yang didirikan oleh Salim Bin Abdurrahman Bahalwan akan dibahas tersendiri. Pelajaran apa yang bisa diambil dari nukilan cerita Soerabaya tempo doeloe ? Kita harus melestarikan apakah itu budaya termasuk makanan, minuman, tempat–tempat yang bernilai sejarah. Karena modernisasi suatu bangsa tidak boleh menggusur dan bahkan menghilangkan sesuatu yang telah menjadi ciri khas/icon suatu kota atau negara. Termasuk Al Bahalwan, mari kita pelihara apa yang telah ditinggalkan oleh para senior kita. Semoga dengan itu kita mampu menghargai apa yang telah dilakukan oleh pihak lain. Semoga...                       

Demikian penjelasan Fadhil Bahalwan, cucu dari Salim bin Abdurrahman Bahalwan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar